Wajibkah Zakat Tijarah ?
WAIBKAH ZAKAT TIJARAH?
Oleh
Ibnu Ahmad Al-Lambunji
Menurut Jumhur ulama’ sejak zaman shahabat, tabi’in, dan para fuqoha’ sesudah mereka, barang dagangan wajib dizakati (Fiqhus Sunnah 1/291). Pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan putranya, juga dari Ibnu Abbas. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh fuqoha’ tujuh: Hasan Al-Bashri, Jabir bin Zaid, Maimun bin Mihran, Thawus, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq dan Abu Ubaid. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 25/15]
DALIL JUMHUR ADALAH SEBAGAI BERIKUT:
1.Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian”. [al-Baqarah: 267]
Mujahid mengatakan: “Ayat ini diturunkan mengenai masalah perdagangan/tijarah”. [Subulus Salam 2/277; Kifayatul Akhyar 1/177; Syarhus Sunah 3/349; Sunan Kubra 4/146; Sunan Sughra 1/319; Aunul Ma’bud 4/425]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah sedekah (zakat) dari harta mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengan sedekah itu”. [at-Taubah: 103]
Berdasarkan ayat ini maka seluruh harta benda harus dizakati kecuali harta yang telah ditetapkan oleh Sunnah dan Ijma’. [Muwaththo’ Syarhu Zarqani 2/148]
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
“Dari Samurah bin Jundab: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari barang yang kami sediakan untuk perniagaan” [HR. Abu Daud no. 1587, Baihaqi 4/141-147. Lihat Irwa’ no. 827]
4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ فِي اْلإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبُزِّ صَدَقَتُهُ
“Hadits Abu Dzar: “Unta ada zakatnya, kambing ada zakatnya, sapi ada zakatnya, dan pada kain yang diperdagangkan juga ada zakatnya”. [HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ibnu Syaibah di dalam Mushannafnya]
5. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ عَنْ أَبِيْهِ قال : مَرَّ بِيْ عُمَرُ فَقَالَ يا حِمَاس أدِّ زَكَاةَ مَالِكَ فَقُلْتُ : مَالِيْ مَالٌ إِلاَّ جِعَابٌ وَ أُدُم ! فَقَالَ : قَوِّمْهَا قِيْمَةً ثُمَّ أدِّ زَكَاتَهَا
“Dari Abi ‘Amr bin Himas dari bapaknya: “Pada suatu hari Umar melewatiku, lalu berkata: “Hai Himas tunaikan zakat hartamu!”. Aku menjawab: “Aku tidak punya harta kecuali kulit dan tempat panah”. Umar berkata: “Taksirlah nilainya lalu tunaikanlah zakat!” [HR. Syafi’I, 1/236, Daruqutni no. 213, dan Baihaqi4/147]
6. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ القَارِي قَالَ : كُنْتُ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ زَمَانَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَانَ إِذَا خَرَجَ الْعَطَاءُ جَمَعَ أَمْوَالَ التُجَّارِ ثُمَّ حَسَبَهَا غَائِبَهَا وَ شَاهِدَهَا ثُمَّ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ شَاهِدِ الْمَالِ عَنْ الْغَائِبِ وَالشَّاهِدِ
“Dari Abdurrahman bin Abdul Qari’: “Aku adalah bendahara baitul maal pada masa Umar bin Khattab, maka jika beliau mengeluarkan pemberian, beliau mengumpulkan harta para pedagang, kemudian menghitung baik yang pedagangnya sedang bepergian, maupun yang muqim lalu mengambil zakat tersebut “. [HR. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/40]
7. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عن أبِي قِلاَبة إنَّ عمَّالَ عُمَرَ قالُوا : يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمنِينَ إِنَّ التُّجَّارَ شَكَوْا شِدَّةَ التَّقْوِيْمِ فَقَالَ عُمَرُ : هاه, هاه, هاه ! خفِّفُوا
“Dari Abu Qilabah: “Para juru ambil zakat pada masa Umar berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya pada pedagang mengeluhkan tingginya penaksiran!” Umar berkata: ”Hah, hah ringankanlah!” [HR. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/40].
Dan inilah yang dipilih oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunah 1/2912-923, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi dalam Minhajul Muslim hal. 243, Syaikh Shalih bin Fauzan dalam Mulakhosh al-Fiqh 1/241, A. Hasan dalam Tarjamah Bulughul Maram hal. 275, Hasbi Ash-Shiddiqi dalam Pedoman Zakat hal. 97-100, juga Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Zakat, dan Imam Syafi’i dalam salah satu qaul (pendapat) nya.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridla berkata dalam Al-Mannar 10/591: “Jumhur ulama’ Islam menyatakan wajibnya zakat barang perniagaan, namun tidak didapatkan keterangan yang tegas dari Al-Kitab dan As-Sunnah, hanya dijumpai beberapa riwayat yang saling menguatkan, dan dengan pertimbangan berdasarkan nash, yaitu barang perniagaan yang diperedarkan untuk mendapatkan keuntungan sebagaimana halnya seperti mata uang yang tidak ada bedanya dengan uang mas dan perak yang menjadi harga atau nilai barang perniagaan tersebut. Kecuali bahwa nisab barang itu berubah dan bolak balik di antara harga, yaitu mata uang dan yang dihargai yaitu barang.
Seandainya zakat perniagaan itu tidak wajib, tentu semua atau sebagian besar orang dapat memperdagangkan uang mereka dan selalu mencari jalan agar nishab uang emas dan perak itu tidak pernah menjalani satu tahun sehingga tidak ada harta yang mereka miliki.
Dan yang menjadi pokok pertimbangan dalam masalah ini adalah Allah mewajibkan zakat pada harta orang kaya untuk membantu orang fakir dan yang senasib dengan mereka, juga untuk menegakkan kemaslahatan umum. Sedangkan faedah zakat bagi orang kaya adalah membersihkan diri dari dari penyakit kikir dan menghiasi diri dengan rasa santun terhadap orang fakir dan golongan-golongan yang berhak lainnya, serta membantu bangsa dan negara untuk menegakkan kemaslahatan umum, membantu fakir miskin, dan menolong mereka dalam menghadapi problematika hidup. Juga zakat itu dapat membendung jalan menuju bencana bertumpuknya harta dan terbatasnya harta pada segelintir manusia. Itulah yang diisyaratkan Allah ketika menjelaskan hikmah pembagian fai’.
كَيْ لاَيَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ
“Supaya harta tidak beredar pada orang-orang kaya diantara kalian” [al-Hasyr: 7]
Maka adakah akan masuk diakal, para pedagang yang terkadang sebagian harta besar kekayaan bangsa ditangan mereka akan berada diluar dan tidak termasuk dalam seluruh maksud dari tujuan agama.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/45 berkata: “Imam yang empat dan seluruh umat kecuali yang bersikap aneh, sepakat adanya kewaiban zakat barang perdagangan, baik pedagang itu mukim atau musafir, baik pedagang tersebut mukarabbis (pedagang yang membeli ketika murah dan disimpan sampai berharga mahal) atau mudir ( seperti pedagang di kedai), baik barang dagangan itu berupa besi, pakaian, makanan pokok, buah-buahan, kulit dll. Atau berupa bejana seperti tembikar, dan semacamnya atau makhluk hidup berupa budak, kuda, baghal, keledai, kambing yang diberi pakan ternak ataupun tidak. Karena sesungguhnya perdagangan adalah harta batin yang paling dominan sebagaimana hewan ternak adalah harta zhahir yang dominan.
Ibnu Abdil Bar, sebagaimana dinukil Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa 25/15 mengomentari kisah Himmas dan Umar diatas : “Kisah ini masyhur dan tidak ada yang mengingkarinya, karena itu disebut ijma”.
Ibnu Mundzir berkata sebagaimana dalam Subulussalam 2/277 : “Telah ada Ijma’ tentang kewajiban zakat dalam harta perniagaan dan sebagian yang berpendapat seperti itu adalah para fuqoha’ tujuh, akan tetapi tidak dikafirkan orang yang menentang hal ini karena adanya ikhtilaf (perselisihan) akan hal itu”.
Imam AS-Syafi’i berkata dalam Al-Umm 3/63: “Dan dengan semua ini kami berpendapat, dan ini adalah pendapat mayoritas orang yang kuhafal atau kuketahui dan telah disebutkan kepadaku dari para ahli ilmu dari berbagai negeri”.
Imam Baihaqi berkata (Sunan Kubro 4/147): “Kewajiban zakat tijarah ini adalah pendapat banyak dari ahlul ilmi”.
Ibnu Mundzir menyatakan adanya ijma’ mengenai kewajiban zakat tijarah. [Lihat. Nailul Authar 4/154]
Baghawi (Syarh Sunnah3/350) berkata: “Dawud mengatakan bahwa zakat tijarah tidak wajib, namun telah ada ijma’ tentang kewajiban zakat tijarah sebelum keluarnya pendapat Dawud Azh-Zhahiri”.
Adapun Dawud Azh-Zhahiri dan shahabatnya menyatakan tidak ada zakat terhadap tijarah (Fiqhussunah 1/292) dan juga diriwayatkan pendapat seperti ini dari Malik (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah hal. 15), namun penisbatan ini bertentangan dengan perkataan beliau dalam Al-Muwattha’. Pendapat ini Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/39-47, Shidiq Hasan Khan dalam Ar-Raudah An-Nadiyah 1/192-193, Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarar 2/26-27 dan Ad-Durari al-Mudhiyah 2/182-183 dan Al Muhaddits Al-Albani dalam Tamamul Minnah 363-368. Pendapat ini dipelopori oleh Atho’ bin Rabah dari ulama’ salaf.
Adapun alasan mereka adalah:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ألاَ هَلْ بَلَّغْتُ
“Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada khutbah haji wada’: “Ingatlah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan darah kalian dan harta kalian seperti keharaman hari ini, dinegeri ini, dan dibulan ini. Adakah aku sudah menyampaikannya?” [HR. Bukhari 8/106 (Al-Fath), Muslim no. 65, lihat Bahjatun Nazhirin 1/300 dan Irwa’ no. 1458]
2. Hadits Samurah bin Jundab Dhaif.
(Lemah) karena perawi yang bernama Ja’far bin Said, Khabib bin Sulaiman dan bapaknya seluruhnya majhul (tidak dikenal). Adz-Dzahabi berkata: “Ini adalah sanad yang gelap yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum”. Al-Hafizh dalam At-Talkhish 2/217 berkata: “Di dalam sanadnya ada kemajhulan”. (untuk lebih rinci, lihat Al-Irwa’ no. 827). Al-Hafizh dalam Bulughul Maram no. 642 menyatakan: “Isnadnya layyin (tidak kuat)”. Hal ini di setujui oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 2/276. Asy-Syaukani berkata di dalam Sailul jarar: “Di dalam sanadnya ada beberapa rawi yang majhul”. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla 4/40: “Adapun hadits Samurah adalah hadits yang gugur, karena seluruh perawinya kecuali Sulaiman bin Musa dan Samurah adalah majhul.
Kemudian seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi hujjah buat mereka (yang mewajibkan zakat perdagangan), karena tidak ada keterangan bahwa sedekah itu adalah zakat fardlu/wajib. Bahkan jika zakat sedekah yang dimaksud adalah zakat wajib tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan waktu menunaikan, ukuran zakat yang dikeluarkan dan bagaimana cara mengeluarkannya, apakah dari barang dagangannya atau dengan penaksiran, kalau dengan penaksiran, lalu dengan apa? Adalah mustahil kalau Rasulullah mewajibkan zakat, tetapi beliau tidak menjelaskan berapa besar yang harus dikeluarkan? Dan bagaimana cara pengambilannya (nilai atau bendanya)? Jadi seandainya hadits ini shahih niscaya pengeluaran zakat tersebut dipasrahkan kepada pemilik barang dagangan tersebut”.
3. Hadits Abu Dzar juga Dha’if.
Lihat Dhaif Jamius Shaghir no. 3992, Silsilah Adl-Dla’ifah no. 1178, dan juga Faidlul Qadir 4/445 no. 5905. Ibnu Hajar berkata: “Isnadnya tidak shahih, perawi yang dipermasalahkan adalah Musa bin Ubaidah”. [Sailul Jarar 2/26].
Seandainya hadits ini shahih, maka masih ada permasalahan yaitu ada sebagian yang meriwayatkan dengan lafazh البز (kain), periwayatan ini ditegaskan oleh Musa bin Ubaidah, padahal dia adalah dhaif (lemah). Sedangkan dalam naskah atau riwayat yang lain menggunakan lafazh البر (gandum)”.
Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah hal. 363: “Kami tidak mengetahui kemungkinan yang rajih (lebih kuat), sebagaimana juga telah dialami oleh banyak orang-orang sebelum kami, maka hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Shidiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah:
مِمَّا يُوْجِبُ الإِحْتِمَالَ فَلاَ يَتِمُّ الإِسْتِدْلاَلُ
“Hal yang mengandung kemungkinan maka tidak bisa dijadikan dalil”.
Asy-Syaukani dalam Sailul Jarar 2/26 dan Ad-Darar al-Mudhiyah 2/182 berkata: “Ibnu Hajar bercerita bahwa Ibnu Daqiqi Ied mengatakan: “Yang kulihat dalam naskah Mustadrak dalam hadits ini adalah البر ”.
Dan lafazh inilah yang dipilih Al-Albani dalam Jami’us Shagir no. 3992.
4. Adapun atsar dari Umar dari Abi Amr bin Himas juga Dha’if, karena Abi Amr bin Himas majhul (tidak dikenal). Lihat Irwa’ no. 828 dan Al-Muhalla 4/41.
5. Adapun hadits Abu Qilabah maka ia adalah mursal atau dhaif, karena Abu Qilabah tidak semasa dengan Umar. Lihat Al-Muhalla 4/41.
6. Adapun hadits Abdurrahman bin Abdul Qari, maka dalam Al-Muhalla 4/41 Ibnu Hazm berkata: “Tidak ada hujjah bagi mereka untuk berdalil dengan atsar ini, karena disana tidak ada keterangan bahwa harta itu berupa barang dagangan. Jika barang itu barang dagangan, maka terkadang pedagang memiliki barang dagangan yang wajib dizakati, seperti emas, perak dll. Tidak boleh menambahkan penjelasan yang tidak terdapat dalam hadits. Barangsiapa yang melakukannya maka ia telah berbohong”.
Adapun ucapan Abdullah bin Umar:
لَيْسَ فيِ الْعَرُوْضِ زَكَاةٌ إِلاَّ مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ
“Tidak ada zakat bagi barang kecuali yang diperdagangkan”.
[Al-Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dengan sanad yang shahih].
Al-Albani juga berkata dalam Tamamul Minnah hal. 364-365: “Disamping hadits ini mauquf, bukan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dalam hadits ini tidak disebutkan nisab zakat dan tidak pula wujud zakat yang dikeluarkan, maka kita bisa membawa makna zakat disini dengan zakat mutlak yang tidak terikat waktu atau kadar tertentu, tetapi hanya terserah keikhlasan pemiliknya sehingga hal ini termasuk dalam keumuman nash yang memerintahkan infaq seperti:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم
“Hai orang-orang yang beriman infakkanlah sebagian rizki yang telah Kami berikan kepada kalian”. [al-Baqarah: 254]
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ اْلآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada satu hari yang dialami oleh para hamba kecuali pada pagi hari itu terdapat dua orang malaikat turun dari langit. Yang pertama berdo’a: “Ya Allah berilah ganti kepada orang berinfaq!”, sedangkan yang kedua berdo’a: “Ya Allah timpakan kehancuran bagi orang yang bakhil!”. [HR. Bukhari dan Muslim, lihat Ash-Shahihah no. 920]
Sebagaiman perkataan Ibnu Juraij: “Atha’ berkata kepadaku:
لاَ صَدَقَةَ فيِ اللُّؤْلُؤِ وَلاَ زَبَرْجَدَ ولاَ يقُوتَ ولاَ فُصُوْصٍ ولاَ عَرْضٍ و لاَ شيْءَ لاَ يدارُ ( أي لاَ يتَاجِرُ بِهِ) وَإِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ يُدَارُ فَفِيْهِ الصَّدَقَةُ فيِ ثَمَانِهِ حينَ يباعُ
“Tidak ada zakat pada permata, zabaryat, batu yakut dan tidak pula batu mulya yang lain, dan tidak pula barang milik, kecuali yang diperdagangkan. Jika diperdagangkan maka terdapat pada nilainya saat dijual” [HR. Abdurrazaq 4/84/7061, Ibnu Abi Syaibah 3/144, Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah sanadnya shahih].
Dalam atsar ini hanya disebutkan “maka pada sedekah dalam nilainya ketika dijual”, dan tidak disebutkan penaksirannya, nisab dan tidak pula haulnya, sekian perkataan Al-Albani.
Perkataan serupa kita tujukan untuk tafsir Mujahid diatas.
Adapun klaim ijma’ dan orang yang menyelisihi dalam hal ini hanya Dawud azh-Zhahiri, maka sebelumnya mari kita cermati perkataan Imam Ahmad:
مَنِ ادَّعَى الإِجْمَاعَ فَهُوَ كاَذِبٌ وَ مَا يَدْرِي لَعَلَّهُمْ اخْتَلَفُوْا
“Barangsiapa yang mengklaim adanya ijma’ maka dia telah berdusta, mungkin dia tidak tahu kalau orang-orang telah berselisih”. [Lihat Tamamul Minnah hal. 366]
Benarlah ucapan beliau, beberapa masalah diklaim adanya ijma’, kemudian setelah diteliti ternyata termasuk dalam masalah khilafiyah. Dalam masalah ini kita bisa melihat inkonsisten dari statement Ibnu Mundzir karena diakhir perkataan, beliau mengakui adanya khilaf dalam masalah ini.
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Para ahli berbeda pendapat dalam zakat tijarah, sebagian dari mereka mengatakan tidak ada zakat tijarah dan sebagian yang lain berkata ada. Inilah yang saya sukai”. [Pedoman Zakat hal. 99].
Juga perkataan Abu Ubaid dalam Al-Amwal 427/1193 dari sebagian fuqoha’ yang menyatakan tidak ada zakat dalam barang dagangan.
Dan sangat jauh sekali jika yang dimaksud sebagian itu adalah Dawud Azh-Zhahiri, karena ketika Imam Abu Ubaid wafat, Dawud berumur kurang dari 24 tahun, menurut kebiasaan sangatlah jauh jika Dawud memiliki kemasyhuran keilmuan dalam usia yang relatif muda, sehingga khilafnya diceritakan oleh Abu Ubaid. Abu Ubaid wafat wafat tahun 224 H sedangkan Dawud lahir tahun 200 H atau 202 H. Kemungkinan besar yang dimaksud oleh Abu Ubaid adalah Atho’, sebagaimana perkataan Ash-Sha’i: “Atha’ ditanya tentang seorang pedagang yang memiliki banyak harta lagi beragam, lalu telah tiba saatnya ia harus berzakat, apakah ia wajib menaksir barang dagangan yang ia miliki lalu apakah ia wajib mengeluarkan zakatnya?” Atho’ berkata: “Tidak, akan tetapi jika ia memiliki emas dan perak maka ia wajib mengeluarkan zakatnya. Adapun barang dagangan maka ia mengeluarkan zakatnya jika terjual”. Diriwayatkan oleh Abu Zanjawih dalam Al-Amwal 3/946/1703 dengan sanad yang hasan. [Tamamul Minnah hal. 365].
Adapun klaim sebagian orang yang menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan tidak ada zakat barang perdagangan akan menelantarkan hak fakir miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, maka bisa dijawab dengan dua sisi:
a. Perkara dien seluruhnya ditangan Allah, maka tidak ada seorangpun yang boleh membuat syari’at tanpa idzin dari Allah
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ الْخِيرَةُ سُبْحَانَ اللهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Tuhanmu mencipta dan memilih yang Dia kehendaki, sedangkan mereka tidak memiliki pilihan. Maha suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sekutukan” [al-Qashash 68]
Bukankah engkau melihat bahwa para ulama akhirnya sepakat bahwa sayuran tidak wajib dizakati, meskipun ada perselisihan yang banyak (lihat Fiqhussunnah 1/295-296) dan mereka sepakat bahwa kayu bakar, rumput dan tebu tidak dizakati seberapapun tinggi nilai barang tersebut (lihat Fiqhussunnah 1/297). Maka jawaban mereka dalam masalah ini adalah sekaligus sebagai jawaban bagi kalim mereka.
b. Sesungguhnya klaim tadi disebabkan asumsi bahwa hikmah kewajiban zakat adalah hanya untuk fakir miskin saja, padahal tidaklah demikian, karena Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
“Sesungguhnya sedekah itu hanyalah untuk fakir, miskin, amil, dan orang yang dilembutkan hatinya ……” [at-Taubah : 60]
Jika kita mau meluaskan sedikit pandangan, maka ternyata membiarkan orang kaya dengan harta barang perdagangan mereka lebih bermanfaat bagi masyarakat, termasuk bagi orang-orang fakir daripada harta tersebut disimpan walaupun zakatnya tetap dikeluarkan. Kalau tidak percaya, coba tanyakan kepada para pakar ekonomi!”. [Tamamul Minnah 367-368]
Dan juga sesungguhnya perdagangan itu telah dikenal sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sering disebut dalam al-Qur’an dan Al-Hadits diberbagai kesempatan, maka sikap diam beliau untuk membicarakan kewajiban zakat perdagangan mirip sebuah bentuk pembiaran dari beliau yang mengandung hikmah yang tinggi.
Orang yang mewajibkan zakat tijarah juga inkonsisten dalam menerapkan dalil yang mereka pakai, misalnya mereka memakai dalil kisah Himas dengan Umar. Ternyata Imam Malik membedakan antara perdagangan mudir dengan yang bukan mudir, dan zakat menjadi gugur bagi orang yang menjual barang dagangannya dengan barang dagangan juga, selama belum menghasilkan satu dirham. Imam Syafi’i berpendapat keuntungan dagang tidak turut di hitung bersama modal kecuali orang yang bekerja sebagai shorof (penukaran uang/money changer), dan ini pun tidak berasal dari Umar atau Ibnu Umar. Mereka seluruhnya (Imam Hanafi, Malik, dan Syafi’i) berpendapat jika orang mendapat warisan barang dagangan atau membeli untuk dimiliki lalu bermaksud untuk menjual lagi barang tadi maka tidak ada zakat, walaupun barang tadi belum laku sampai bertahun-tahun, tidak pula zakat dari uang hasil penjualan, tetapi hanya saja sejak itu dimulai perhitungan. Ini semua menyelisihi Umar dan putranya.
Barangsiapa yang ingin meluaskan wawasan dalam hal ini maka bacalah Al-Muhalla 4/39-47 dan Ar-Raudlah An-Nadhiyah 1/194 niscaya akan hilang kefanatikan selain kepada Allah dan RasulNya [al-Qur’an dan al-Hadits]
Adapun beralasan dengan qias untuk mewajibkan zakat tijarah, yaitu setiap barang yang berkembang wajib dizakati. Maka jawabannya adalah klaim bahwa zakat diwajibkan pada setiap barang yang berkembang ialah klaim yang kontroversial, karena barang milik (non tijarah) nilainya juga bisa berkembang seperti barang dagangan, lalu dimana letak perbedaan antara keduanya, sehingga memiliki hukum yang berbeda ??? dan di dalam barang perniagaan tidak hanya terdapat perkembangan tetapi juga mengandung kerugian. Keledaipun berkembang tetapi tidak ada zakat menurut mereka. Kuda juga berkembang tetapi tidak ada zakat kuda menurut Syafi’iyah da Malikiyah. Unta yang dipekerjakan juga bisa berkembang tetapi tidak ada zakat untuk unta yang dipekerjakan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah. Harta milik budak juga berkembang namun tidak ada zakat dari harta budak menurut Malikiyah. [al-Muhalla 4/45].
Maraji’:
1. Al-Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm, Tahqiq Abdul Ghaffar al-Banari, Dar fikr
2. Subulus Salam, Ash-Shan’ani, Darul Kutub Ilmiyah, cet. I 1408 H
3. As-Sail Al-Jarar, Asy-Syaukani, Darul Kutub Ilmiyah, cet. I
4. Ad-Durari Al-Mudhiyah, Asy-Syaukani, Muassasah Al-kutub Ats-Tsaqafiyah, cet. I 1409 H/1988
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2828-wajibkah-zakat-tijarah.html